Jumat, 12 Desember 2008

KETERPURUKAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA



I. PENDAHULUAN

Ketika bicara hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triyulnan rupiah dibebaskan oleh pengadilan. Dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam. Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.
Dalam situasi yang serba extra ordinary dimana bangsa dan negara kita ini sulit untuk keluar dari tekanan krisis di segala bidang kehidupan tidak tertutup kemungkinan bangsa Indonesia akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam dan menyeramkan, maka situasi mencekam seperti ini tidak ayal hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Pasca tumbangnya pemerintahan otoriter tahun 1998, hamper setiap saat dibumi pertiwi ini lahir peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan menjawab problematika kehidupan di Negara ini, sehingga keberadaan bangka kita ini dalam kondisi hiperregulated society. Namun, dengan segudang peraturan perundang-undangan, baik menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kegidupan manusia Indonesia, keteraturan (order) tidak kunjung datang. Malahan hukum kita tampak kewelahan, yang akibatnya dengan seabrek peraturan perundang-undangan itu dalam ranah penegakan hukum justru malah menerbitkan persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya. Hal ini menurut Satjipto Rahardjo, komunitas hukum dianggap sebagai komunitas yang sangat lamban dalam menangkap momentum.[1]
Sejak tumbangnya pemerintahan otoriter 1998 yang selanjutnya disebut sebagai era reformasi, sebenarnya merupakan momentum paling penting dan strategis dari segi kehidupan social dan hukum, namun kondisi ini tidak mampu menggerakkan untuk mengambil manfaat dalam ranah perbaikan. Institusi yang dijadikan tumpuan pembebasan dan pencerahan, justru menjadi sarang troble maker bangsa. Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Dalam situasi keterpurukan hukum seperti ini, maka apapun uapya pembenahan dan perbaikan dibidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan suatu yang musykil dilakukan (mission impossible)[2]. Hal ini apabila dicermati , minimal terdapat dua faktor utama. Pertama, perilaku penegak hukum (professional jurist) yang koruptif dan yang kedua, pola pikir para penegak hukum Indonesia sebagian besar masih terkungkung dalam pikiran legalistic-positivistik, meskipun system kelembagaan hukum telah ditabuh ke arah perubahan-perubahan namun paradigma para penegak hukum masih berpola lama (orde baru).
Bahwa dalam harian Kompas tanggal 31 Mei tahun 2002, halaman 27 ditulis, panggung peradilan Indonesia…., dikepung oleh pelbagai hal yang sangat rawan dengan urusan KKN…, dan hedoisme…, uang yang bersileweran-pun bukan alang kepalang jumlahnya. Dalam harian yang sama pada halaman 4 seorang Denny Indrayana mengatakan[3] “sebenarnya persoalan perilaku jurist itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Namun yang berlangsung di Indonesia sungguh sudah keterlaluan.
Selanjutnya ketika dikaji dari sisi penegakan hukum yang legal-positivistik, menurut Anis Ibrahim, rasanya kita sudah lebih dari cukup memiliki peraturan hukum yang dapat digunakan sebagai garansi kepastian dan keadilan bagi mereka yang sedang berurusan dengan hukum, Namun, sungguh sangat sulit mendapatkan data yang menggembirakan tentang keadilan yang muncul dari hukum.[4] Misalnya, Indonesia telah menyatakan korupsi merupakan extra ordinary, dan karenanya dinyatakan Negara Indonesia berada dalam keadaan darurat korupsi. Hal ini, melahirkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU nomor 20/2001 yang mengubah UU Nomor 31/1999). Dan karena Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak mampu menangani korupsi kelas kakap, maka lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Namun pemberantasan korupsi yang dilakukan hanya sebatas popularitas, asal sikat dan sering salah sasaran. Hal ini terbutki, koruptor kelas kakap yang menjarah BLBI trilyunan rupiah nyaris belum tersentuh. Ironisnya menurut Anis Ibrahim, seandainya ada yang dibawa ke pengadilan terdapat dua kemungkinan putusan, jika tidak dibebaskan dengan dalih kekurangan alat bukti, bisa jadi vonisnya tidak jauh dari putusan penjahat sekelas preman jalanan.[5]

II. PERMASALAHAN
Dari latar pemikiran sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan maka pertanyaanya adalah “bagaimana cara keluar dari keterpurukan hukum di Indonesia ini”?

III. PEMBAHASAN
Menurut Satjipto rahardjo, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan procedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi keadilan subsatansial. Penggunaan hukum yang demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata-mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai keadilan.[6]
Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH., progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih saying serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat.[7] Namun apabila dramaturgi hukum menjadi buruk seperti selam ini terjadi di Negara kita, yang menjadi sasaran adalah para aparat penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat. Meskipun, apabila kita berfikir jernih dan berkesinambungan, tidak sepenuhnya mereka dipersalahkan dan didudukan sebagai satu-satunya terdakwa atas rusaknya wibawa hukum di Indonesia.
Memang sangat menyedihkan hati, ketika melihat kondisi hukum di Indonesia dengan segala bentuk praktisnya. Penggunaan hukum yang serba formal-prosedural dan teknikal , pada dasarnya telah banyak melupakan sisi kebenaran materiil, keadilan substansial dan kemanusiaan. Praktis-praktis hukum yang diterapkan dinegara kita, hingga kini belum mampu memberi garansi untuk mencapai harkat kemanusiaan yang berkeyakinan, kebenaran materiil dan keadilan substansial. Kepedulian terhadap hukum yang menjanjikan kebenaran, kemanusian dan keadilan menurut Satjito Raharjo, baru dapat dicapai jika kita mau keluar dari tawan-tawanan undang-undang yang serba formal procedural. Manakala menginginkan dan mempercayai hukum beserta praktiknya masih dapat dijadikan media pencerah bangsa, maka harus berani mencari agenda alternative yang sifatnya progresif.
Berfikir secara progresif, menurut Satjipto Raharjo berarti harus berani keluar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudianmenempatkan hukum dalam posisi yang relative. Dalam hal ini, hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusian. Bekerja berdasarkan pola pikir yang determinan hukum memang per;uj. Namun itu bukanlah suatu yang mutlak dilakukan manakala para ahli hukum berhadapan dengan suatu masalah yang jika menggunakan logika hukum modern akan menciderai posisi kemanusiaan dan kebenaran. Bekerja berdasarkan pola pikir hukum yang progresif (paradigma hukum progresif), barang tentu berbeda dengan paradigma hukum positivistis-praktis yang selama ini diajarkan di perguruan tinggi. Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusua itu sendiri. Sebaliknya paradigma hukum peositivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif berfikir bahwa justru hukum bolehlah dimarjinalkan untuk mencdukung eksistensialitas kemanusian, kebenaran dan keadilan.[8]
Agenda utama paradigma hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan tentang hukum. Penerimaan faktor manusia di pusat pembicaraan hukum tersebut membawa kita untuk mempedulikan faktor perilaku (behavior, experience) manusia. Dalam bahasa Oliver W. Holmes, logika peraturan disempurnakan dengan logika pengalaman. Jika dalam filosofi paradigma hukum praktis posisi manusia adalah untuk hukum dan logika hukum, sehingga manusia dipaksa untuk dimasukkan ke dalam hukum, maka sebaliknya filosofi dalam paradigma hukum progresif adalah hukum untuk manusia. Apabila faktor kemanusiaan yang ada didalammnyua termasuk juga kebenaran dan keadilan telah enjadi titik pembahasan hukum, maka faktor etika dan moralitas dengan sendirinya akan ikut tersert masuk ke dalamnya. Membicarakan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan tidak bisa dilepaskan dari membicarakan etika dan moralitas. Jadi, dengan tegas paradigma hukum progresif menolak pendapat yang memisahkan hukum dari faktor kemanusiaan dan moralitas. Disinilah letak pembebasan dan pencerahan yang dilakukan oleh paradigma hukum progresif.
Hukum progresif mengingatkan, bahwa dinamika hukum tidak kunjung berhenti, oleh karena hukum terus menerus berada pada status membangun diri, dengan demikian terjadinya perubahan social dengan didukung oleh social engineering by law yang terencana akan mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum progresif yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Untuk itu, perlu mendapatkan kehidupan hukum yang berada. Dalam hal ini, menurut Prof. Dr. Muladi, SH., dibutuhkan predisposisi sebagai berikut :
1. menegakkan Rule of Law. Untuk menegakkan Rule of Law, ada empat hal yang harus dipenuhi yaitu : Government is under the law, adanya independence of yurisdiction, access to the counrt of law dan general acqual in certain application and same meaning .
2. Kedua; Democracy, prinsip-prinsip dasar demokrasi yaitu ; constitutional, chek and balance, freedom of media, judicial independence of precident, control to civil to military, protection to minoritary.[9]
Kedua hal ini, adalah menjadi bagian dari prinsip-prinsip dari hukum progresif, dimana hukum bukan sebagai raja, tetapi alat untuk menjabarkan kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia, hukum bukan sebagai tehnologi yang tak bernurani melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusian. Pembahsan hukum tidak menyumbat pintu bagi issue manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu masalah manudia dan kemanusiaan akan terus menyertai dan ikut mengalir mnemasuki hukum. Maka hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mengabdi dan melestarikan manusia dengan segala perbincangan tentang kebenaran dan keadilan di dalamnya.[10]
Kontribusi terbesar dari paradigma hukum progresif adalah menjadikan para jurist untuk menjadi sososk manusia sebenar-benar manusia, bukan manusia sebagai robot/computer yang berisi software hukum. Jika demikian, apa bedanya dengan computer jika dalam praktiknya para jurist sekedar mengikuti perintah dan prosedur yang tercetak dalam undang-undang? Untuk apa bertahun-tahun susah payah dan sibuk mencetak ahli hukum kika kerjanya tidak lebih dari computer yang tinggal mencer-mencet? Jadi, paradigma hukum progresif akan mengarahkan jurist menjadi sosok yang arif-bijaksana dan memiliki wawasan komprehensif dalam mencapai kebenaran dan keadilan dalam setiap persoalan yang dihadapinya. Paradigma hukum progresif akan dapat menjinakkan kekakuan dan kebekuan undang-undang. Bukankah UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman kita, mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[11]

IV. PENUTUP/KESIMPULAN
Untuk keluar dari situasi keterpurukan hukum di Indonesia yang selalu dimuat diberbagai media, bahkan menjadi bahan olok-olok dikampung-kampung, maka harus ada usaha pembebasan diri dari cara kerja yang konvensional yang diwariskan oleh madzab hukum positif dengan segala doktrin dan prosedurnya yang serba formal procedural yang justru melahirkan keadilan yang bersifat formal bukan keadilan substansial. Pencerahan dan pembebasan dari belenggu formal procedural itu barang tentu hanya dapat ditempuh melalui paradigma hukum progrosif yang sangat peduli kepada kebenaran, kemanusiaan dan keadilan. Bukankah keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tidak hanya dibatasi untuk mencapai kepastian, tapi yang jauh lebih besar dari itu adalah untuk mencapai kedilan sejati. Hal ini, hanya dapat terwujud dan didapatkan melalui penegakan hukum secara progresif.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia ; penyebab dan solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.
Anis Ibrahim, Hukum Progresif : Pencarian, pembebasan dan pencerahan, Majalah Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, April 2006.
Denny Indrayana, Let’s Kill the Lawyer (catatan kasus Elza Syarief), Kompas, 13 Mei 2002.
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia, Makalah dalam Seminar Nasional Kerja sama IAIN Walisongo dengan Alumni Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 8 Desember 2004.

[1] Satjipto Raharjo, Tsunami Memicu Akselarsi Hukum, Harian Kompas tanggal 5 Februari 2005, hal.4
[2] Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (penyebab dan solusinya), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal.7.
[3] Denny Indrayana, Let’s kill All the Lawyer (catatan kasus Elza Syarif), Kompas, 13 Mei 2002, hlm.4.
[4] Anis Ibrahim, Jurnal Hukum Progresif, Vol 2 No.1 April 2006, hal.91.
[5] Ibid
[6] Satjipto rahardjo, Sosiologi Hukum Pekrembangan Metode dan pilihan Masalah, Penyuting Khuzaifah Dimyati, Muhammadiyah Univercity Press, Surakarta, 2002, hal.181
[7] Ibid, hal.23.
[8] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional, “Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia”, kerja sama IAIN Walisongo Semarang dengan Ikatan Alumni Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 8 Desember 2004, hal.5.
[9] Muladi, Menggali Kembali Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum, Jurnal Hukum Progresif, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP.Vol.1.No.1 April 2005, hal.125.
[10] Satjipto Rahardjo, Kemanusiaan, Hukum dan Teknokrasi, buki ajar Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP Semarang, Tahun 2004-2005, hal.1.
[11] Pasal 28 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Tidak ada komentar: